Februari: Setahun lalu, rasanya
aku ingin mencakar wajahmu
Dan sudah setahun ternyata,
saat-saat menjengkelkan yang benar-benar membuatku ingin berteriak tepat di
wajahmu. Bulan februari tahun lalu, di tanggal duapuluhan, kita duduk
bersebarangan yang lagi-lagi di suatu serambi marmer yang tinggi. Serambi
marmer tempat kita duduk melingkar di pertemuan pertama tiga tahun silam. Untuk
kali itu, setahun yang lalu, kita duduk bersebelahan meski tidak dalam lingkaran yang sama. Tapi sungguh, apa kau
tak menyadari kita hanya dibatasi oleh tiang marmer besar yang dingin.
Mungkinkah itu yang membuatmu begitu dingin saat itu?
Apa kau tak mengenalku? Bohong
sekali! Setelah banyak kata yang kita ucapkan di waktu-waktu sebelumnya,
tiba-tiba saat itu kau dan aku seperti dua orang yang tak pernah bertemu
sebelumnya. Kau tahu rasanya hatiku? Ada sesuatu yang terambil, terambil secara
paksa oleh keadaan. Seperti dua orang asing yang kelakpun mungkin tak akan bertemu
lagi. Aku merasa begitu bodoh. Dan tak tahu apa-apa. Apa aku melakukan
kesalahan? Atau apa memang sebelumnya kau tak berniat mengenalku sebagai teman?
Heh, payah sekali diri ini.
Kau tahu, Sa? Saat itu aku
berniat tak ingin memperhatikanmu lagi. Tak ingin memperhatikanmu diam-diam
seperti sebelumnya. Dan ketika suatu saat kau menyapaku lagi, aku akan diam
saja. Bukankah kita sudah seperti orang asing?
Tapi setelah setahun berlalu, aku
tetap tidak melakukannya. Setelah berbagai warna ku ecap di bulan-bulan setelah
februari itu, setelah berbagai hal yang terjadi dan membuatku mengerti. Sadar,
bahwa niatan itu adalah niatan terbodoh yang pernah kuucapkan. Meski, pada
akhirnya aku harus membiarkan hatiku sakit sekali lagi untuk melepasmu.
Setidaknya aku belajar untuk melepaskan setelah hampir setahun ini merasa hidupku
benar-benar berwarna karnamu.
Perbatasan kota, 22 februari 2013