Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Juni 2012

Di Antara Detak Jantungmu

Oleh: Aulia Novita Irmmal
Mei 2011
            “Beruntung sekali kau segera mendapat donor jantung”. Kata seorang dokter kepadaku sambil tersenyum.
            Kukira inilah akhir dari hidupku. Aku menderita kelainan jantung sejak lahir. Tapi kehidupanku tak terlalu buruk, hingga beberapa bulan lalu aku merasakan kram jantung yang begitu menyiksa. Mereka bilang aku pasti mati. Tapi nyatanya aku berhasil dioperasi dan aku mendapat donor jantung dari seseorang yang jantungnya cocok denganku. Hingga aku kembali membuka mata setelah koma berbulan-bulan. Ingin rasanya megucapakan terimakasih pada pemilik jantung ini. Tapi mereka, juga orang tuaku, enggan memberitahu milik siapa jantung yang sekarang ini ada di tubuhku.
***
September 2006
            “Baik banget sih kamu?”, Kata itu seperti tak mau pergi dari kepalaku.
            Ha?! Baik banget, yaiyalah...
Cakra. Tak sadarkah dia, kenapa aku begitu baik padanya? Kenapa aku begitu bodoh mau mengerjakan soal ulangannya saat aku sendiripun harus mengerjakan soal ulanganku sendiri? Apa dia benar-benar tak menyadari? Sebegitu tak pedulikah dia? Atau aku yang begitu bodoh karena jatuh cinta padanya? Ini benar-benar membuatku gila. Selama dua tahun aku merasa begitu tersiksa. Tersiksa kerana diam-diam mencintai seorang yang nyatanya tak pernah peduli padaku. Meluangkan sebagian waktuku hanya untuk menikmati kenyataan bahwa  ia akan  berakhir di pelukan sahabatku sendiri. Luna.
***
Desember 2010
Aku. Kinanthi Larasati. 20 tahun. Seorang Mahasiswa. Kau boleh menilaiku dari segi manapun. Cuek, Polos, heboh, muka tembok, galak,...terserah. Tapi yang paling penting aku jomblo. Dan belum pernah pacaran. Aku bukan anak tomboy. Aku hanya takut untuk jatuh cinta lagi. Aku takut aku akan terluka lagi. Aku tak mau mati konyol seperti Luna sahabatku yang bunuh diri karena akhirnya dia patah hati. Setelah sakit hati yang kurasakan terhadap cakra bertahun-tahun yang lalu, aku rasa itu sudah cukup.
“Dilarang bengong di sini!”, Seseorang menyadarkanku dari lamunan. Sosok berkacamata itu jongkok di sampingku. Meletakkan karangan bunga diatas gundukan tanah di hadapanku. Cakra. Kekasih yang membuat Luna tidur di perkuburan ini. Seseorang yang pernah membuatku seperti orang bodoh. Cakra yang kini satu Kampus denganku.
Serta merta aku langsung berdiri meninggalkannya. Beraninya dia melarangku. Sial, memengnya siapa dia?!
***
Desember 2010
“Payung, Kin?”, Cakra tiba-tiba menyodorkan payung. Aku masih menunggu hujan reda di halte bus. Kosku cukup dekat dengan kampus. Hanya menyeberang jalan raya kemudian masuk di gang yang arahnya tegak lurus dengan halte bus.
“Jangan pura-pura baik. Kau kira aku tak tahu apa yang kau lakukan pada Luna? Tega ya?”, Kataku setengah teriak. Beberapa orang menatap ke arah kami.
“Memang kau pikir seperti apa? Aku tau dia patah hati karena aku menolak cintanya. Itu semua karena aku mencintai sahabatnya. Apa aku salah jika aku memperjuangkan cintaku sendiri? Bahkan aku juga tak pernah menyangka dia akan senekat itu”, Wajahnya bingung.
Dia bilang dia tak pernah pacaran dengan Luna. Dia bilang dia tak pernah mendekatinya. Tapi Luna bilang. Luna bilang...Argghhhhh!!!! Aku bingung!!!
Aku berlari menembus hujan. Menerobos jalan raya di tengah air yang mengguyur sekujur tubuhku. Biarkan saja aku tak kuat menahan kemelut di hatiku. Aku berlari. Berlari kencang meski dokterku melarangku untuk berlari. Aku berlari kencang meski selama ini aku benar-benar menuruti semua perintah dokter itu. Aku berlari dan tiba-tiba rasa sesak menyekap dadaku. Nyeri yang begitu menyiksa membuyarkan seluruh pandanganku. Entah, aku merasa hujan begitu deras hari ini hingga aku tak mengingat apapun.
***
Mei 2011
Aku disambut meriah oleh teman-temanku atas kembalinya aku ke kampus setelah berbulan-bulan aku tak menyapa. Tapi diamana cakra? biarkan saja dia.
“Senangnya, Si Bebek menyebalkan itu tak lagi menggangguku”, kataku.
“Apa kau benar-benar tak tau apa yang terjadi padanya, Kin?” Nina bertanya pelan.
“Gimana aku tahu, aku kan nggak update info selama berbulan-bulan”, aku tertawa. Tapi Nina malah terdiam.
“Dia ketabrak pick up saat menyelamatkan seseorang yang tiba-tiba pingsan ditengah jalan raya saat hujan deras padahal sebelumnya mereka bertengkar.”
DUERRRR!!!! rasanya ada petir yang tiba-tiba menyambar-nyambar di siang terik ini. Aku tak berani berkata-kata lagi.
“Semua anak di kampus juga tahu, bahwa dia juga menyumbangkan jantungnya untuk gadis itu”.
DUERRRR!!! untuk yang kedua kalinya petir itu menyambar-nyambar lagi. Aku tak bisa bergerak. Tiba-tiba mataku panas. Aku tahu kenapa orang tuaku tak berani mengatakannya. Mereka tahu betapa bencinya aku pada cakra. Tapi kenapa? Apa dia ingin membalas kebodohanku saat berbuat baik terhadapnya bertahun-tahun yang lalu?
Aku tahu dia patah hati karena aku menolak cintanya. Itu semua karena aku mencintai sahabatnya. Apa aku salah jika aku memperjuangkan cintaku sendiri?
            Tiba-tiba aku teringat kata-kata cakra yang membuatku sakit kepala. Apa dia benar-benar mengatakan itu? Apa mereka tak pernah pacaran? Apa Luna yang berbohong? Mataku semakin panas. Air mataku menetes. Dadaku sesak.
            Suasana mendadak jadi begitu hening. Entah, apakah hanya aku yang merasakan keheningan ini hingga kudengar detak jentungku sendiri. Bukan, tapi detak jantung Cakra. Dalam air mata, kupaksakan juga untuk tersenyum. Senyum untuk Cakra yang lama tak melihat senyumku. Kurasa aku benar-benar tak pantas. Cakra, tolong maafkan aku. Seharusnya kau yang hidup. Bukan aku. Tapi kenapa kau rela bertukar nyawa denganku. Aku tak pantas. Air mata ini benar-benar tak mampu lagi ku bendung.
Kini di antara detak jantungmu Kinan hidup, Cakra.
***End***

Rabu, 14 Maret 2012

Kesaksian Gerimis

(Aulia Novita Irmmal, Kedaulatan Rakyat 2008)


Kulangkahkan kaki dengan malas, kubuka lockerku, tapi waw… surat dari siapa ini? Kubuka dan kubaca segera.
Apakah tiap titik gerimis yang jatuh di lembah akan tetep mengalir ke laut? Apakah tiap noda akan terus membekas di jiwa? Dan apakah aku salah bila aku ingin menebus kesalahan ayahku meski dengan nyawaku?----Adnan.
Rasanya petir menyambar hatiku tanpa sebab, dan tiba-tiba Adnan, seseorang yang meletakkan surat dilockerku menghampiriku.
“Katakan padaku, La, bagaimana caranya aku bias membuatmu memaafkan ayahku, agar kita tak lagi diam seperti ini?” katanya.
“Aku tak tau, jangan ajak aku bicara”, timpalku.
“Aku tau apa yang kau rasakan, tapi aku tak mau kita terus seperti ini”.
Aku tak tau apa yang harus aku katakan. Aku tak mampu tuk menjawabnya semuanya.
Adnan adalah teman sekelasku, tapi nyaris aku tak pernah berbicara padanya. Dia adalah anak Pak Atmaja, seseorang yang telah menghitamkan langit-langit rumahku, seseorang yang telah merubah seluruh kehidupanku.
Entah benci apa dia dengan ayahku, hingga ia tega menjegal ayahku dalam pekerjaannya.
Dan yang paling menyakitiku ketika dia bunuh ayah dan ibuku, dan kini tinggalah aku sendiri, kesepian dalam belas kasih renta nenekku.
***
Hujan belum juga reda, padahal hari sudah lumayan sore, mau tak mau aku harus pulang meski hujan masih turun cukup deras.
Dengan agak berlari aku susuri jalan raya, rumahku lumayan dekat dengan sekolah, hanya perlu menyebrang jalan raya satu kali, dan belok ke kiri.
Cukup lama aku berdiri di seberang jalan, menunggu sepi jalan oleh lalu lalang kendaraan. Hingga hujan tinggal rintik-rintik kecil, baru kendaraan yang lalu lalang berkurang.
Langsung kusebrangi jalan itu, jalan raya tanpa rambu rambu yang memeng bukan untuk penyeberangan.
Tapi aku terus saja berjalan, entah mimpi apa aku semalam, hingga…. pimmm…pimmm…pimmm…..whuuussss….buuukkkkk
Seseorang mendorongku hingga keseberang jalan, perlahan kucoba berdiri. Dan kau percaya??? Adnan mewujudkan kata-katanya. Dia relakan nyawanya tuk tebus kesalahan ayahnya pada keluargaku!!! Oh tidak, ini tak boleh terjadi!
Seketika waktu terasa berhenti, dan semua warna kehidupan memudar…
Di depan mataku aspal jalan berubah merah, darah mengalir bersama aliran air hujan. Kutatap tubuh Adnan yang tergolek di jalan. Tak lama orang-orang berdatangan ingin menyelamatkannya. Tapi hatiku berkata, Adnan tak akan kembali. Aku tak tau haruskah aku tesenyum karna…ah jahatnya aku bila kupilih tuk tersenyum.
Tapi harus kuakui hatiku hancur melihat tubuh Adnan yang esok tak lagi kujumpai. Tak kuat lagi kubendung air mataku, air mata yang mengungkapkan semua pedih yang kurasa.
“Adnan, maafkan aku yang hanya bisa diam di depanmu. Tapi sungguh, aku tak menginginkan semua ini. Kenapa aku harus kehilangan satu orang lagi, satu orang yang tanpa sadar teleh aku cintai. Kenapa semua yang aku sayangi harus tinggalkan aku sendiri.”
Kutatap langit yang masih meneteskan basah oleh gerimis.
“Langit, biarkan Adnan bahagia bersama ayah ibuku, bersama mereka yang kusayangi…”.
***

Kamis, 29 Desember 2011

Skenario Terindah

(Aulia Novita Irmmal)

Awan-awan berarak bagai kapas pada bentangan biru tak berujung. Membentunk bianglala cahaya yang memerobos celahnya saat surya bersembunyi dibalik tebal tipis punggungnya. Negari awan. Aku tersenyum.

“Deb, aku merindukanmu”, bisikku dibawah gumpalan awan itu.

Entah, rasa sesak itu kembali menyekapku, mendesak kerongkonganku. Ya Rabb, dihatiku dia lebih dari sahabat kecil. Andai dia tau apa yang sedang terjadi dengan hatiku, Ya Allah tolong aku…

***

‘Debin Hidayat ingin menjadi teman anda’

Aku tercengang, tak percaya, kubuka profil facebooknya, infonya, foto-fotonya… cepat-cepat kukonfirmasi permintaan pertemanannya.
Benarkah ini dia? Kenapa aku tak tau nama lengkapnya sih?… Ya, aku mengenalnya ketika aku masih kecil, dan saat itu aku tak membutuhkan identitasnya.

“Miss u”, Muncul chat dari Debin. Mungkinkah itu?

“Hei, siapa ini, sok kenal banget sih”, Enter.

“Wah tuan putri kok galak banget ya sekarang, maaf kalo gitu, lama nggak ketemu juga kan…”,

Jangan-jangan ini benar-benar Debin teman kecilku dulu…

“Ini Debin yang anak Papan Mas?????” Enter.

“Hahaha… Kaget ya,,, Akhirnya kutemukan dirimu, aku susul kamu ke jogja, hahaha…”,

“Sekarang kamu ada dijogja?? Yang bener?! Emang tahu rumahku??” Enter.

“Tunggu aja, aku bekalan nyerbu rumah kamu,,, Hohoho,”

Apa aku mimpi?! Kucubit tangan ku. Sakit!

Rasanya seperti diterbangkan ke langit, melayang bersama elang, pergi ke negeri awan. Mengulang kisah indah kanak-kanak bersamanya. Debin kawan kecilku yang kini kurindu karena telah mencuri hatiku selama 15 tahun ini.

Tapi, kembali kuterhempas teringat kenyataan yang terjadi. Apakah kuceritakan saja kepadanya bahwa kini aku telah dijodohkan kepada seorang laki-laki yang tak kukenal? Putra, seseorang yang akan dipertemukan padaku lusa. Seperti apa dia? Tak bisa kubayangkan! Yang aku tau dia lelaki terbaik pilihan orang tuaku.

Tiba-tiba aku berharap ini hanya mimpi. Seandainya Debin datang sebelum ini, atau rumahku tak pernah pindah dari papan mas, atau aku tak pernah mengenalnya saja… Ya Allah, rasanya benar-benar menyiksaku sekarang.

***

Aku gugup. Lelaki di depanku tersenyum. Manis, sungguh. Detak jantungku mulai berlari, semakin cepat, semakin cepat, tak mampu kukejar. Tiba-tiba aku berharap Debin datang menyelamatkanku dari kegugupan ini. Dia masih tersenyum Ayahnya juga, pun orang tuaku. Kucoba mengangkat wajahku.

Kuberanikan diri menatapnya. Masih juga dia tersenyum. Perlahan dia mendekat.

“Aku datang Ir, mengejarmu yang dulu berani meninggalkanku”, bisiknya.

Deg!

“Debin Hidayat Saputra. Aku mencarimu dan akan meminangmu”,

Deg! Tunggu dulu! Kurasakan detak jantungku berhenti mendadak, atau terlalu cepat berlari?

Ternyata Debin dan Putra itu orang yang sama! Sialnya aku tak tahu nama lengkapnya dari dulu. Jeleknya akupun tak mengenali orang tuanya, aduhhh,,, aku malu… Aku memang masih kecil saat aku berteman dengannya.

Ya Rabb, inikah skenario indah yang Kau siapkan untukku? Benar-benar yang terindah… Sungguh! Tak pernak kubayangkan sebelumnya. Tak sanggup aku berkata saat ini, hanya segaris senyum paling tulus yang mampu kupersembahkan untuknya. Deb, kuserahkan hati ini padamu, aku ikhlas.

Diluar bingkai jendela, cahaya surya menerobos celah-celah awan dan membentuk bianglala yang indah… Negeri awan, dan sang pengeran yang terlah menemukan kembali sang putrinya di bumi. Kisah kecil kita akan abadi, Deb…

***