Oleh: Aulia Novita Irmmal
Mei 2011
“Beruntung sekali kau segera mendapat donor jantung”. Kata seorang dokter kepadaku sambil tersenyum.
Kukira inilah akhir dari hidupku. Aku menderita kelainan jantung sejak lahir. Tapi kehidupanku tak terlalu buruk, hingga beberapa bulan lalu aku merasakan kram jantung yang begitu menyiksa. Mereka bilang aku pasti mati. Tapi nyatanya aku berhasil dioperasi dan aku mendapat donor jantung dari seseorang yang jantungnya cocok denganku. Hingga aku kembali membuka mata setelah koma berbulan-bulan. Ingin rasanya megucapakan terimakasih pada pemilik jantung ini. Tapi mereka, juga orang tuaku, enggan memberitahu milik siapa jantung yang sekarang ini ada di tubuhku.
***
September 2006
“Baik banget sih kamu?”, Kata itu seperti tak mau pergi dari kepalaku.
Ha?! Baik banget, yaiyalah...
Cakra. Tak sadarkah dia, kenapa aku begitu baik padanya? Kenapa aku begitu bodoh mau mengerjakan soal ulangannya saat aku sendiripun harus mengerjakan soal ulanganku sendiri? Apa dia benar-benar tak menyadari? Sebegitu tak pedulikah dia? Atau aku yang begitu bodoh karena jatuh cinta padanya? Ini benar-benar membuatku gila. Selama dua tahun aku merasa begitu tersiksa. Tersiksa kerana diam-diam mencintai seorang yang nyatanya tak pernah peduli padaku. Meluangkan sebagian waktuku hanya untuk menikmati kenyataan bahwa ia akan berakhir di pelukan sahabatku sendiri. Luna.
***
Desember 2010
Aku. Kinanthi Larasati. 20 tahun. Seorang Mahasiswa. Kau boleh menilaiku dari segi manapun. Cuek, Polos, heboh, muka tembok, galak,...terserah. Tapi yang paling penting aku jomblo. Dan belum pernah pacaran. Aku bukan anak tomboy. Aku hanya takut untuk jatuh cinta lagi. Aku takut aku akan terluka lagi. Aku tak mau mati konyol seperti Luna sahabatku yang bunuh diri karena akhirnya dia patah hati. Setelah sakit hati yang kurasakan terhadap cakra bertahun-tahun yang lalu, aku rasa itu sudah cukup.
“Dilarang bengong di sini!”, Seseorang menyadarkanku dari lamunan. Sosok berkacamata itu jongkok di sampingku. Meletakkan karangan bunga diatas gundukan tanah di hadapanku. Cakra. Kekasih yang membuat Luna tidur di perkuburan ini. Seseorang yang pernah membuatku seperti orang bodoh. Cakra yang kini satu Kampus denganku.
Serta merta aku langsung berdiri meninggalkannya. Beraninya dia melarangku. Sial, memengnya siapa dia?!
***
Desember 2010
“Payung, Kin?”, Cakra tiba-tiba menyodorkan payung. Aku masih menunggu hujan reda di halte bus. Kosku cukup dekat dengan kampus. Hanya menyeberang jalan raya kemudian masuk di gang yang arahnya tegak lurus dengan halte bus.
“Jangan pura-pura baik. Kau kira aku tak tahu apa yang kau lakukan pada Luna? Tega ya?”, Kataku setengah teriak. Beberapa orang menatap ke arah kami.
“Memang kau pikir seperti apa? Aku tau dia patah hati karena aku menolak cintanya. Itu semua karena aku mencintai sahabatnya. Apa aku salah jika aku memperjuangkan cintaku sendiri? Bahkan aku juga tak pernah menyangka dia akan senekat itu”, Wajahnya bingung.
Dia bilang dia tak pernah pacaran dengan Luna. Dia bilang dia tak pernah mendekatinya. Tapi Luna bilang. Luna bilang...Argghhhhh!!!! Aku bingung!!!
Aku berlari menembus hujan. Menerobos jalan raya di tengah air yang mengguyur sekujur tubuhku. Biarkan saja aku tak kuat menahan kemelut di hatiku. Aku berlari. Berlari kencang meski dokterku melarangku untuk berlari. Aku berlari kencang meski selama ini aku benar-benar menuruti semua perintah dokter itu. Aku berlari dan tiba-tiba rasa sesak menyekap dadaku. Nyeri yang begitu menyiksa membuyarkan seluruh pandanganku. Entah, aku merasa hujan begitu deras hari ini hingga aku tak mengingat apapun.
***
Mei 2011
Aku disambut meriah oleh teman-temanku atas kembalinya aku ke kampus setelah berbulan-bulan aku tak menyapa. Tapi diamana cakra? biarkan saja dia.
“Senangnya, Si Bebek menyebalkan itu tak lagi menggangguku”, kataku.
“Apa kau benar-benar tak tau apa yang terjadi padanya, Kin?” Nina bertanya pelan.
“Gimana aku tahu, aku kan nggak update info selama berbulan-bulan”, aku tertawa. Tapi Nina malah terdiam.
“Dia ketabrak pick up saat menyelamatkan seseorang yang tiba-tiba pingsan ditengah jalan raya saat hujan deras padahal sebelumnya mereka bertengkar.”
DUERRRR!!!! rasanya ada petir yang tiba-tiba menyambar-nyambar di siang terik ini. Aku tak berani berkata-kata lagi.
“Semua anak di kampus juga tahu, bahwa dia juga menyumbangkan jantungnya untuk gadis itu”.
DUERRRR!!! untuk yang kedua kalinya petir itu menyambar-nyambar lagi. Aku tak bisa bergerak. Tiba-tiba mataku panas. Aku tahu kenapa orang tuaku tak berani mengatakannya. Mereka tahu betapa bencinya aku pada cakra. Tapi kenapa? Apa dia ingin membalas kebodohanku saat berbuat baik terhadapnya bertahun-tahun yang lalu?
Aku tahu dia patah hati karena aku menolak cintanya. Itu semua karena aku mencintai sahabatnya. Apa aku salah jika aku memperjuangkan cintaku sendiri?
Tiba-tiba aku teringat kata-kata cakra yang membuatku sakit kepala. Apa dia benar-benar mengatakan itu? Apa mereka tak pernah pacaran? Apa Luna yang berbohong? Mataku semakin panas. Air mataku menetes. Dadaku sesak.
Suasana mendadak jadi begitu hening. Entah, apakah hanya aku yang merasakan keheningan ini hingga kudengar detak jentungku sendiri. Bukan, tapi detak jantung Cakra. Dalam air mata, kupaksakan juga untuk tersenyum. Senyum untuk Cakra yang lama tak melihat senyumku. Kurasa aku benar-benar tak pantas. Cakra, tolong maafkan aku. Seharusnya kau yang hidup. Bukan aku. Tapi kenapa kau rela bertukar nyawa denganku. Aku tak pantas. Air mata ini benar-benar tak mampu lagi ku bendung.
Kini di antara detak jantungmu Kinan hidup, Cakra.
***End***
2 komentar:
keren ul :")
pas aku baca lagi... aku pernah ngepost yg ini ya??? hahaha
cerpen yg tak bikin abis liat drama.. dan hsilnya lebay..hahahah
Posting Komentar